Pengertian nyeri
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan
ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).
Menurut International Association for Study of Pain (IASP),
nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang
didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau
menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan
Fisiologi nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang
nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf
bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara
potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara
anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga
yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa
bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep
somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda
inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang
berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor
jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang
memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab
nyeri dihilangkan
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang
terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit
dilokalisasi
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat
pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya.
Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang
tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi
organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri
yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan
organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
Teori Pengontrolan nyeri (Gate control theory)
Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor
dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori
yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang
kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri, 2007)
Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa
impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang
sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat
sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup.
Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol
desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan
substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme
pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang
lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat.
Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup
mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat
seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan
akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal
dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan
klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke
otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri.
Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin,
suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini
menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi,
konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin
(Potter, 2005)
Respon Psikologis
respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri
yang terjadi atau arti nyeri bagi klien.
Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain :
1) Bahaya atau merusak
2) Komplikasi seperti infeksi
3) Penyakit yang berulang
4) Penyakit baru
5) Penyakit yang fatal
6) Peningkatan ketidakmampuan
7) Kehilangan mobilitas
8) Menjadi tua
9) Sembuh
10) Perlu untuk penyembuhan
11) Hukuman untuk berdosa
12) Tantangan
13) Penghargaan terhadap penderitaan orang lain
14) Sesuatu yang harus ditoleransi
15) Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki
Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan,
persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya
Respon fisiologis terhadap nyeri
1) Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)
a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate
b) Peningkatan heart rate
c) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP
d) Peningkatan nilai gula darah
e) Diaphoresis
f) Peningkatan kekuatan otot
g) Dilatasi pupil
h) Penurunan motilitas GI
2) Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)
a) Muka pucat
b) Otot mengeras
c) Penurunan HR dan BP
d) Nafas cepat dan irreguler
e) Nausea dan vomitus
f) Kelelahan dan keletihan
Respon tingkah laku terhadap nyeri
1) Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:
2) Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)
3) Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)
4) Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan
jari & tangan
5) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan,
Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas
menghilangkan nyeri)
Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat
berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi
kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih
untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat.
Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir
dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.
Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:
1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini
bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar
tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam
fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.
2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat
subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi
terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang
yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh
nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya
rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan
tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan,
sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya
mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.
Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang
berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda
tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan
individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.
Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi
wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang
digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat
harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan
nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak
mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat
untuk membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien
masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga
dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami
episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi
masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh
kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.
Faktor yang mempengaruhi respon nyeri
1) Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon
nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis
dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang
dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus
dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika
nyeri diperiksakan.
2) Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara
signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex:
tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).
3) Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap
nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah
akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak
mengeluh jika ada nyeri.
4) Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan
bagaimana mengatasinya.
5) Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi
persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan
dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan
respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik
untuk mengatasi nyeri.
6) Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan
seseorang cemas.
7) Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini
nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah
tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam
mengatasi nyeri.
8) Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan
sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi
nyeri.
9) Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga
atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan
Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh
individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan
kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua
orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan
pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik
tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga
tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri,
2007).
Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
1) skala intensitas nyeri deskritif
2) Skala identitas nyeri numerik
3) Skala analog visual
4) Skala nyeri menurut bourbanis
Keterangan :
0 :Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi
dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis,
menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat
mengikuti perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat
mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan
lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih
posisi nafas panjang dan distraksi
10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi
berkomunikasi, memukul.
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adlah tingkat keparahan atau
intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri
sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini
berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga
sulit untuk dipastikan.
Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih
obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS)
merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi
yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini
diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”.
Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih
intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh
nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak
menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk
mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating scales,
NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini,
klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan
saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik.
Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10
cm (AHCPR, 1992).
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel
subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang
terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi
klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat
merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat
mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu
kata atau satu angka (Potter, 2005).
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan
tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat
membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala
deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri,
tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan
setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah
nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).
sumber
Priharjo, R (1993). Perawatan Nyeri, pemenuhan aktivitas istirahat. Jakarta
: EGC hal : 87.
Shone, N. (1995). Berhasil Mengatasi Nyeri. Jakarta : Arcan. Hlm :
76-80
Ramali. A. (2000). Kamus Kedokteran : Arti dan Keterangan Istilah.
Jakarta : Djambatan.
Syaifuddin. (1997). Anatomi fisiologi untuk siswa perawat.edisi-2.
Jakarta : EGC. Hlm : 123-136.
Tamsuri, A. (2007). Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta : EGC.
Hlm 1-63
Potter. (2005). Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik.
Jakarta: EGC. Hlm 1502-1533.
Jumat, 15 Juni 2012
LAPORAN PENDAHULUAN NYERI
Diposting oleh Unknown di 20.21LAPORAN PENDAHULUAN MOBILITAS
Diposting oleh Unknown di 20.20
A.
PENGERTIAN
Ø Mobilitas
atau Mobilisasi adalah kemampuan individu untuk bergerak secara bebas, mudah,
dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas guna
mempertahankan kesehatannya.
Ø Imobilitas
atau Imobilisasi adalah keadaan dimana seseorang tidak dapat bergerak secara
bebas karena kondisi yang menggangu pergerakan (aktivitas).
A. JENIS MOBILITAS DAN IMOBILITAS
·
Jenis
Mobilitas :
1.
Mobilitas
penuh,
merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara
penuh dan bebas, sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan
peran sehari-hari.
2.
Mobilitas
Sebagian,
merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak
dengan batasan jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena dipengaruhi
oleh gangguan saraf motorik dan sensorik pada area tubuhnya, mobilitas sebagian
dibagi dua jenis :
a.
Mobilitas
sebagian temporer,
merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan
batasan yang sifatnya sementara.
b.
Mobilitas
sebagian permanen,
merupakan kemampuan individu untuk bergerak
dengan batasan yang sifatnya menetap.
·
Jenis
Imobilitas :
1.
Imobilisasi
fisik,
merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik
dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan.
2.
Imobilisasi
intelektual,
merupakan keadaan ketika seseorang mengalami
keterbatasan daya pikir.
3.
Imobilitas
emosional,
merupakan keadaan ketika seseorang mengalami
pembatasan secara emosional karena adanya perubahan secara tiba-tiba dalam
menyesuaikan diri.
4.
Imobilitas
sosial,
merupakan keadaan individu yang mengalami hambatan
dalam melakukan interaksi sosial karena keadaan penyakitnya, sehingga dapat
mempengaruhi perannya dalam kehidupan sosial.
B. FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI MOBILITAS
1.
Gaya Hidup
Perubahan gaya hidup dapat mempengaruhi
kemampuan mobilitas seseorang karena gaya hidup berdampak pada perilaku atau
kebiasaan sehari-hari
2.
Proses
Penyakit / Cedera
Proses penyakit dapat mempengaruhi kemampuan mobilitas
karena dapat mempengaruhi fungsi sistem tubuh
3.
Kebudayaan
Kemampuan melakukan mobilitas dapat juga dipengaruhi
kebudayaan.
4.
Tingkat
Energi
Energi adalh sumber untuk mobilitas. Agar seseorang
dapat melakukan mobilitas dengan baik, dibutuhkan energi yang cukup.
5.
Usia dan
Status Perkembangan
Terdapat perbedaan kemampuan mobilitas pada tingkat
usia yang berbeda. Hal ini dikarenakan kemampuan atau kematangan fungsi alat
gerka sejalan dengan perkembangan usia.
C. PERUBAHAN
SISTEM TUBUH AKIBAT IMOBILITAS
(Tanda dan
Gejala)
a.
Perubahan
Metabolisme
Secara umum imobilitas dapat mengganggu metabolisme
secara normal, mengingat imobilitas dapat menyebabkan turunnya kecepatan
metabolisme dalam tubuh.
b.
Ketidakseimbangan
Cairan dan Elektrolit
Terjadinya ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
sebagai dampak dari imobilitas akan mengakibatkan persediaan protein menurun
dan konsenstrasi protein serum berkurang sehingga dapat mengganggu kebutuhan
cairan tubuh. Berkurangnya perpindahan cairan dari intravaskular ke
interstitial dapat menyebabkan edema, sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan
dan elektrolit.
c.
Gangguan
Pengubahan Zat Gizi
Terjadinya gangguan zat gizi yang disebabkan oleh
menurunnya pemasukan protein dan kalori dapat mengakibatkan pengubahan zat-zat
makanan pada tingkat sel menurun, dan tidak bisa melaksanakan aktivitas
metabolisme,
d.
Gangguan Fungsi
Gastrointestinal
Imobilitas dapat menyebabkan gangguan fungsi
gastrointestinal, karena imobilitas dapat menurunkan hasil makanan yang dicerna
dan dapat menyebabkan gangguan proses eliminasi.
e.
Perubahan
Sistem Pernapasan
Imobilitas menyebabkan terjadinya perubahan sistem
pernapasan. Akibat imobilitas, kadar hemoglobin menurun, ekspansi paru menurun,
dan terjadinya lemah otot,
f.
Perubahan
Kardiovaskular
Perubahan sistem kardiovaskular akibat imobilitas,
yaitu berupa hipotensi ortostatik, meningkatnya kerja jantung, dan terjadinya
pembentukan trombus.
g.
Perubahan
Sistem Muskuloskeletal
-
Gangguan
Muskular : menurunnya massa otot sebagai dampak imobilitas,
dapat menyebabkan turunnya kekuatan otot secara
langsung.
-
Gangguan
Skeletal : adanya imobilitas juga dapat
menyebabkan gangguan
skeletal, misalnya akan mudah terjadi
kontraktur sendi
dan osteoporosis.
h.
Perubahan
Sistem Integumen
Perubahan sistem integumen yang terjadi berupa
penurunan elastisitas kulit karena menurunnya sirkulasi darah akibat
imobilitas.
i.
Perubahan
Eliminasi
Perubahan dalam eliminasi misalnya dalam penurunan
jumlah urine.
j.
Perubahan
Perilaku
Perubahan perilaku sebagai akibat imobilitas, antara
lain timbulnya rasa bermusuhan, bingung, cemas, dan sebagainya.
D. PROSES KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a.
Riwayat
Keperawatan Sekarang
Pengkajian riwayat pasien saat ini meliputi alasan
pasien yang menyebabkan terjadi keluhan / gangguan dalam mobilitas dan
imobilitas.
b.
Riwayat
Keperawatan Dahulu
Pengkajian riwayat penyakit di masa lalu yang
berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan mobilitas
c.
Riwayat
Keperawatan Keluarga
Pengkajian riwayat penyakit keluarga, misalnya tentang
ada atau tidaknya riwayat alergi, stroke, penyakit jantung, diabetes melitus.
d.
Kemampuan
Mobilitas
Tingkat Aktivitas/Mobilitas
|
Kategori
|
Tingkat 0
Tingkat 1
Tingkat 2
Tingkat 3
Tingkat 4
|
Mampu merawat diri secara penuh
Memerlukan penggunaan alat
Memerlukan bantuan atau pengawasan
orang lain
Memerlukan bantuan, pengawasan
orang lain, dan peralatan
Sangat tergantung dan tidak dapat
melakukan atau berpartisipasi dalam perawatan
|
e.
Kemampuan
Rentang Gerak
Pengkajian rentang gerak (ROM) dilakukan pada daerah seperti
bahu, siku, lengan, panggul, dan kaki dengan derajat rentang gerak normal yang
berbeda pada setiap gerakan (Abduksi, adduksi, fleksi, ekstensi, hiperekstensi)
f.
Perubahan
Intoleransi Aktivitas
Pengkajian intoleransi aktivitas dapat berhubungan
dengan perubahan sistem pernapasan dan sistem kardiovaskular.
g.
Kekuatan
Otot dan Gangguan Koordinasi
Dalam mengkaji kekuatan otot dapat ditentukan kekuatan
secara bilateral atau tidak.
Skala
|
Procentase Kekuatan Normal
|
Karakteristik
|
0
1
2
3
4
5
|
0
10
25
50
75
100
|
Paralisis
sempurna
Tidak ada
gerakan, kontraksi otot dapat dipalpasi atau dilihat
Gerakan
otot penuh melawan gravitasi dengan topangan
Gerakan
yang normal melawan gravitasi
Gerakan
penuh yang normal melawan gravitasi dan melawan tahan minimal
Kekuatan
normal, gerakan penuh yang normal melawan gravitasi dan tahanan penuh
|
h.
Perubahan
psikologis
Pengkajian perubahan psikologis yang disebabkan oleh
adanya gangguan mobilitas dan imobilitas, antara lain perubahan perilaku, peningkatan
emosi, dan sebagainya.
2. Diagnosis
-
Gangguan
penurunan curah jantung berhubungan dengan imobilitas
-
Intoleransi
aktivitas berhubungan dengan menurunnya terus dan kekuatan otot
-
Tidak
efektifnya pola napas berhubunagn dengan menurunnya ekspansi paru
-
Gannguan
interaksi sosial berhubungan dengan imobilitas
-
Gangguan
konsep diri berhubungan dengan imobilitas
3. Perencanaan
Tujuan :
1.
Meningkatkan
kekuatan, ketahanan otot, dan fleksibilitas sendi
2.
Meningkatkan
fungsi kardiovaskular
3.
Meningkatkan
fungsi respirasi
4.
Memperbaiki
gangguan psikologis
Rencana
Tindakan :
a.
Pengaturan
posisi dengan cara mempertahankan posisi dalam postur tubuh yang benar
b.
Ambulasi
dini
c.
Melakukan
aktivitas sehari-hari secara mandiri
d.
Latihan
isotonik dan isometrik
e.
Latihan ROM
f.
Latihan
napas dalam dan batuk efektif
g.
Melakukan
postural drainage
h.
Melakukan
komunikasi terapeutik
4. Pelaksanaan
a.
Pengaturan
Posisi Tubuh sesuai Kebutuhan Pasien
Pengaturan posisi dalam mengatasi masalah kebutuhan
mobilitas, digunakan untuk meningkatkan kekuatan, ketahanan otot, dan
fleksibilitas sendi. Posisi-posisi tersebut, yaitu :
1.
Posisi
fowler
2.
Posisi sim
3.
Posisi
trendelenburg
4.
Posisi
Dorsal Recumbent
5.
Posisi
lithotomi
6.
Posisi genu
pectoral
b.
Ambulasi
dini
Cara ini adalah salah satu tindakan yang dapat
meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot serta meningkatkan fungsi
kardiovaskular.. Tindakan ini bisa dilakukan dengan cara melatih posisi duduk
di tempat tidur, turun dari tempat tidur, bergerak ke kursi roda, dan
lain-lain.
c.
Melakukan
aktivitas sehari-hari secara mandiri juga dilakukan untuk melatih kekuatan,
ketahanan, kemampuan sendi agar mudah bergerak, serta meningkatkan fungsi
kardiovaskular.
d.
Latihan
isotonik dan isometrik
Latihan ini juga dapat dilakukan untuk melatih
kekuatan dan ketahanan otot dengan cara mengangkat beban ringan, lalu beban
yang berat. Latihan isotonik (dynamic exercise) dapat dilakukan dengan rentang
gerak (ROM) secara aktif, sedangkan latihan isometrik (static exercise) dapat
dilakukan dengan meningkatkan curah jantung dan denyut nadi.
e.
Latihan ROM
Pasif dan Aktif
Latihan ini baik ROM aktif maupun pasif merupakan
tindakan pelatihan untuk mengurangi kekakuan pada sendi dan kelemahan otot.
Latihan-latihan itu, yaitu :
1.
Fleksi dan
ekstensi pergelangan tangan
2.
Fleksi dan
ekstensi siku
3.
Pronasi dan
supinasi lengan bawah
4.
Pronasi
fleksi bahu
5.
Abduksi dan
adduksi
6.
Rotasi bahu
7.
Fleksi dan
ekstensi jari-jari
8.
Infersi dan
efersi kaki
9.
Fleksi dan
ekstensi pergelangan kaki
10. Fleksi dan
ekstensi lutut
11. Rotasi
pangkal paha
12. Abduksi dan
adduksi pangkal paha
f.
Latihan
Napas Dalam dan Batuk Efektif
Latihan ini dilakukan untuk meningkatkan fungsi
respirasi sebagai dampak terjadinya imobilitas.
g.
Melakukan
Postural Drainase
Postural
drainase merupakan cara klasik untuk mengeluarkan sekret dari paru dengan
menggunakan gaya berat (gravitasi) dari sekret itu sendiri. Postural drainase
dilakukan untuk mencegah terkumpulnya sekret dalam saluran napas tetapi juga
mempercepat pengeluaran sekret sehingga tidak terjadi atelektasis, sehingga
dapat meningkatkan fungsi respirasi. Pada penderita dengan produksi sputum yang
banyak, postural drainase lebih efektif bila diikuti dengan perkusi dan vibrasi
dada.
h.
Melakukan
komunikasi terapeutik
Cara ini dilakukan untuk memperbaiki gangguan
psikologis yaitu dengan cara berbagi perasaan dengan pasien, membantu pasien
untuk mengekspresikan kecemasannya, memberikan dukungan moril, dan lain-lain.
5. Evaluasi
Evaluasi
yang diharapkan dari hasil tindakan keperawatan untuk mengatasi gangguan
mobilitas adalah :
a.
Peningkatan
fungsi sistem tubuh
b.
Peningkatan
kekuatan dan ketahanan otot
c.
Peningkatan
fleksibilitas sendi
d.
Peningkatan
fungsi motorik, perasaan nyaman pada pasien, dan ekspresi pasien menunjukkan
keceriaan
Subscribe to:
Postingan (Atom)
Jumat, 15 Juni 2012
LAPORAN PENDAHULUAN NYERI
Pengertian nyeri
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan
Fisiologi nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
Teori Pengontrolan nyeri (Gate control theory)
Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri, 2007)
Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter, 2005)
Respon Psikologis
respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien.
Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain :
1) Bahaya atau merusak
2) Komplikasi seperti infeksi
3) Penyakit yang berulang
4) Penyakit baru
5) Penyakit yang fatal
6) Peningkatan ketidakmampuan
7) Kehilangan mobilitas
8) Menjadi tua
9) Sembuh
10) Perlu untuk penyembuhan
11) Hukuman untuk berdosa
12) Tantangan
13) Penghargaan terhadap penderitaan orang lain
14) Sesuatu yang harus ditoleransi
15) Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki
Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya
Respon fisiologis terhadap nyeri
1) Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)
a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate
b) Peningkatan heart rate
c) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP
d) Peningkatan nilai gula darah
e) Diaphoresis
f) Peningkatan kekuatan otot
g) Dilatasi pupil
h) Penurunan motilitas GI
2) Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)
a) Muka pucat
b) Otot mengeras
c) Penurunan HR dan BP
d) Nafas cepat dan irreguler
e) Nausea dan vomitus
f) Kelelahan dan keletihan
Respon tingkah laku terhadap nyeri
1) Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:
2) Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)
3) Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)
4) Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari & tangan
5) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan, Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas menghilangkan nyeri)
Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.
Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:
1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.
2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.
Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.
Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.
Faktor yang mempengaruhi respon nyeri
1) Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
2) Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).
3) Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.
4) Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.
5) Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
6) Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas.
7) Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.
8) Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.
9) Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan
Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
1) skala intensitas nyeri deskritif
![skala intensitas nyeri deskritif](file:///C:%5CUsers%5CHPMINI%7E1%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image001.gif)
2) Skala identitas nyeri numerik
![Skala identitas nyeri numerik](file:///C:%5CUsers%5CHPMINI%7E1%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image002.gif)
3) Skala analog visual
![Skala analog visual](file:///C:%5CUsers%5CHPMINI%7E1%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image003.gif)
4) Skala nyeri menurut bourbanis
![Skala nyeri menurut bourbanis](file:///C:%5CUsers%5CHPMINI%7E1%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image004.gif)
Keterangan :
0 :Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi
dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis,
menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat
mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi
10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi
berkomunikasi, memukul.
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adlah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.
Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992).
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).
sumber
Priharjo, R (1993). Perawatan Nyeri, pemenuhan aktivitas istirahat. Jakarta : EGC hal : 87.
Shone, N. (1995). Berhasil Mengatasi Nyeri. Jakarta : Arcan. Hlm : 76-80
Ramali. A. (2000). Kamus Kedokteran : Arti dan Keterangan Istilah. Jakarta : Djambatan.
Syaifuddin. (1997). Anatomi fisiologi untuk siswa perawat.edisi-2. Jakarta : EGC. Hlm : 123-136.
Tamsuri, A. (2007). Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta : EGC. Hlm 1-63
Potter. (2005). Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik. Jakarta: EGC. Hlm 1502-1533.
LAPORAN PENDAHULUAN MOBILITAS
A.
PENGERTIAN
Ø Mobilitas
atau Mobilisasi adalah kemampuan individu untuk bergerak secara bebas, mudah,
dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas guna
mempertahankan kesehatannya.
Ø Imobilitas
atau Imobilisasi adalah keadaan dimana seseorang tidak dapat bergerak secara
bebas karena kondisi yang menggangu pergerakan (aktivitas).
A. JENIS MOBILITAS DAN IMOBILITAS
·
Jenis
Mobilitas :
1.
Mobilitas
penuh,
merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara
penuh dan bebas, sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan
peran sehari-hari.
2.
Mobilitas
Sebagian,
merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak
dengan batasan jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena dipengaruhi
oleh gangguan saraf motorik dan sensorik pada area tubuhnya, mobilitas sebagian
dibagi dua jenis :
a.
Mobilitas
sebagian temporer,
merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan
batasan yang sifatnya sementara.
b.
Mobilitas
sebagian permanen,
merupakan kemampuan individu untuk bergerak
dengan batasan yang sifatnya menetap.
·
Jenis
Imobilitas :
1.
Imobilisasi
fisik,
merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik
dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan.
2.
Imobilisasi
intelektual,
merupakan keadaan ketika seseorang mengalami
keterbatasan daya pikir.
3.
Imobilitas
emosional,
merupakan keadaan ketika seseorang mengalami
pembatasan secara emosional karena adanya perubahan secara tiba-tiba dalam
menyesuaikan diri.
4.
Imobilitas
sosial,
merupakan keadaan individu yang mengalami hambatan
dalam melakukan interaksi sosial karena keadaan penyakitnya, sehingga dapat
mempengaruhi perannya dalam kehidupan sosial.
B. FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI MOBILITAS
1.
Gaya Hidup
Perubahan gaya hidup dapat mempengaruhi
kemampuan mobilitas seseorang karena gaya hidup berdampak pada perilaku atau
kebiasaan sehari-hari
2.
Proses
Penyakit / Cedera
Proses penyakit dapat mempengaruhi kemampuan mobilitas
karena dapat mempengaruhi fungsi sistem tubuh
3.
Kebudayaan
Kemampuan melakukan mobilitas dapat juga dipengaruhi
kebudayaan.
4.
Tingkat
Energi
Energi adalh sumber untuk mobilitas. Agar seseorang
dapat melakukan mobilitas dengan baik, dibutuhkan energi yang cukup.
5.
Usia dan
Status Perkembangan
Terdapat perbedaan kemampuan mobilitas pada tingkat
usia yang berbeda. Hal ini dikarenakan kemampuan atau kematangan fungsi alat
gerka sejalan dengan perkembangan usia.
C. PERUBAHAN
SISTEM TUBUH AKIBAT IMOBILITAS
(Tanda dan
Gejala)
a.
Perubahan
Metabolisme
Secara umum imobilitas dapat mengganggu metabolisme
secara normal, mengingat imobilitas dapat menyebabkan turunnya kecepatan
metabolisme dalam tubuh.
b.
Ketidakseimbangan
Cairan dan Elektrolit
Terjadinya ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
sebagai dampak dari imobilitas akan mengakibatkan persediaan protein menurun
dan konsenstrasi protein serum berkurang sehingga dapat mengganggu kebutuhan
cairan tubuh. Berkurangnya perpindahan cairan dari intravaskular ke
interstitial dapat menyebabkan edema, sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan
dan elektrolit.
c.
Gangguan
Pengubahan Zat Gizi
Terjadinya gangguan zat gizi yang disebabkan oleh
menurunnya pemasukan protein dan kalori dapat mengakibatkan pengubahan zat-zat
makanan pada tingkat sel menurun, dan tidak bisa melaksanakan aktivitas
metabolisme,
d.
Gangguan Fungsi
Gastrointestinal
Imobilitas dapat menyebabkan gangguan fungsi
gastrointestinal, karena imobilitas dapat menurunkan hasil makanan yang dicerna
dan dapat menyebabkan gangguan proses eliminasi.
e.
Perubahan
Sistem Pernapasan
Imobilitas menyebabkan terjadinya perubahan sistem
pernapasan. Akibat imobilitas, kadar hemoglobin menurun, ekspansi paru menurun,
dan terjadinya lemah otot,
f.
Perubahan
Kardiovaskular
Perubahan sistem kardiovaskular akibat imobilitas,
yaitu berupa hipotensi ortostatik, meningkatnya kerja jantung, dan terjadinya
pembentukan trombus.
g.
Perubahan
Sistem Muskuloskeletal
-
Gangguan
Muskular : menurunnya massa otot sebagai dampak imobilitas,
dapat menyebabkan turunnya kekuatan otot secara
langsung.
-
Gangguan
Skeletal : adanya imobilitas juga dapat
menyebabkan gangguan
skeletal, misalnya akan mudah terjadi
kontraktur sendi
dan osteoporosis.
h.
Perubahan
Sistem Integumen
Perubahan sistem integumen yang terjadi berupa
penurunan elastisitas kulit karena menurunnya sirkulasi darah akibat
imobilitas.
i.
Perubahan
Eliminasi
Perubahan dalam eliminasi misalnya dalam penurunan
jumlah urine.
j.
Perubahan
Perilaku
Perubahan perilaku sebagai akibat imobilitas, antara
lain timbulnya rasa bermusuhan, bingung, cemas, dan sebagainya.
D. PROSES KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a.
Riwayat
Keperawatan Sekarang
Pengkajian riwayat pasien saat ini meliputi alasan
pasien yang menyebabkan terjadi keluhan / gangguan dalam mobilitas dan
imobilitas.
b.
Riwayat
Keperawatan Dahulu
Pengkajian riwayat penyakit di masa lalu yang
berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan mobilitas
c.
Riwayat
Keperawatan Keluarga
Pengkajian riwayat penyakit keluarga, misalnya tentang
ada atau tidaknya riwayat alergi, stroke, penyakit jantung, diabetes melitus.
d.
Kemampuan
Mobilitas
Tingkat Aktivitas/Mobilitas
|
Kategori
|
Tingkat 0
Tingkat 1
Tingkat 2
Tingkat 3
Tingkat 4
|
Mampu merawat diri secara penuh
Memerlukan penggunaan alat
Memerlukan bantuan atau pengawasan
orang lain
Memerlukan bantuan, pengawasan
orang lain, dan peralatan
Sangat tergantung dan tidak dapat
melakukan atau berpartisipasi dalam perawatan
|
e.
Kemampuan
Rentang Gerak
Pengkajian rentang gerak (ROM) dilakukan pada daerah seperti
bahu, siku, lengan, panggul, dan kaki dengan derajat rentang gerak normal yang
berbeda pada setiap gerakan (Abduksi, adduksi, fleksi, ekstensi, hiperekstensi)
f.
Perubahan
Intoleransi Aktivitas
Pengkajian intoleransi aktivitas dapat berhubungan
dengan perubahan sistem pernapasan dan sistem kardiovaskular.
g.
Kekuatan
Otot dan Gangguan Koordinasi
Dalam mengkaji kekuatan otot dapat ditentukan kekuatan
secara bilateral atau tidak.
Skala
|
Procentase Kekuatan Normal
|
Karakteristik
|
0
1
2
3
4
5
|
0
10
25
50
75
100
|
Paralisis
sempurna
Tidak ada
gerakan, kontraksi otot dapat dipalpasi atau dilihat
Gerakan
otot penuh melawan gravitasi dengan topangan
Gerakan
yang normal melawan gravitasi
Gerakan
penuh yang normal melawan gravitasi dan melawan tahan minimal
Kekuatan
normal, gerakan penuh yang normal melawan gravitasi dan tahanan penuh
|
h.
Perubahan
psikologis
Pengkajian perubahan psikologis yang disebabkan oleh
adanya gangguan mobilitas dan imobilitas, antara lain perubahan perilaku, peningkatan
emosi, dan sebagainya.
2. Diagnosis
-
Gangguan
penurunan curah jantung berhubungan dengan imobilitas
-
Intoleransi
aktivitas berhubungan dengan menurunnya terus dan kekuatan otot
-
Tidak
efektifnya pola napas berhubunagn dengan menurunnya ekspansi paru
-
Gannguan
interaksi sosial berhubungan dengan imobilitas
-
Gangguan
konsep diri berhubungan dengan imobilitas
3. Perencanaan
Tujuan :
1.
Meningkatkan
kekuatan, ketahanan otot, dan fleksibilitas sendi
2.
Meningkatkan
fungsi kardiovaskular
3.
Meningkatkan
fungsi respirasi
4.
Memperbaiki
gangguan psikologis
Rencana
Tindakan :
a.
Pengaturan
posisi dengan cara mempertahankan posisi dalam postur tubuh yang benar
b.
Ambulasi
dini
c.
Melakukan
aktivitas sehari-hari secara mandiri
d.
Latihan
isotonik dan isometrik
e.
Latihan ROM
f.
Latihan
napas dalam dan batuk efektif
g.
Melakukan
postural drainage
h.
Melakukan
komunikasi terapeutik
4. Pelaksanaan
a.
Pengaturan
Posisi Tubuh sesuai Kebutuhan Pasien
Pengaturan posisi dalam mengatasi masalah kebutuhan
mobilitas, digunakan untuk meningkatkan kekuatan, ketahanan otot, dan
fleksibilitas sendi. Posisi-posisi tersebut, yaitu :
1.
Posisi
fowler
2.
Posisi sim
3.
Posisi
trendelenburg
4.
Posisi
Dorsal Recumbent
5.
Posisi
lithotomi
6.
Posisi genu
pectoral
b.
Ambulasi
dini
Cara ini adalah salah satu tindakan yang dapat
meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot serta meningkatkan fungsi
kardiovaskular.. Tindakan ini bisa dilakukan dengan cara melatih posisi duduk
di tempat tidur, turun dari tempat tidur, bergerak ke kursi roda, dan
lain-lain.
c.
Melakukan
aktivitas sehari-hari secara mandiri juga dilakukan untuk melatih kekuatan,
ketahanan, kemampuan sendi agar mudah bergerak, serta meningkatkan fungsi
kardiovaskular.
d.
Latihan
isotonik dan isometrik
Latihan ini juga dapat dilakukan untuk melatih
kekuatan dan ketahanan otot dengan cara mengangkat beban ringan, lalu beban
yang berat. Latihan isotonik (dynamic exercise) dapat dilakukan dengan rentang
gerak (ROM) secara aktif, sedangkan latihan isometrik (static exercise) dapat
dilakukan dengan meningkatkan curah jantung dan denyut nadi.
e.
Latihan ROM
Pasif dan Aktif
Latihan ini baik ROM aktif maupun pasif merupakan
tindakan pelatihan untuk mengurangi kekakuan pada sendi dan kelemahan otot.
Latihan-latihan itu, yaitu :
1.
Fleksi dan
ekstensi pergelangan tangan
2.
Fleksi dan
ekstensi siku
3.
Pronasi dan
supinasi lengan bawah
4.
Pronasi
fleksi bahu
5.
Abduksi dan
adduksi
6.
Rotasi bahu
7.
Fleksi dan
ekstensi jari-jari
8.
Infersi dan
efersi kaki
9.
Fleksi dan
ekstensi pergelangan kaki
10. Fleksi dan
ekstensi lutut
11. Rotasi
pangkal paha
12. Abduksi dan
adduksi pangkal paha
f.
Latihan
Napas Dalam dan Batuk Efektif
Latihan ini dilakukan untuk meningkatkan fungsi
respirasi sebagai dampak terjadinya imobilitas.
g.
Melakukan
Postural Drainase
Postural
drainase merupakan cara klasik untuk mengeluarkan sekret dari paru dengan
menggunakan gaya berat (gravitasi) dari sekret itu sendiri. Postural drainase
dilakukan untuk mencegah terkumpulnya sekret dalam saluran napas tetapi juga
mempercepat pengeluaran sekret sehingga tidak terjadi atelektasis, sehingga
dapat meningkatkan fungsi respirasi. Pada penderita dengan produksi sputum yang
banyak, postural drainase lebih efektif bila diikuti dengan perkusi dan vibrasi
dada.
h.
Melakukan
komunikasi terapeutik
Cara ini dilakukan untuk memperbaiki gangguan
psikologis yaitu dengan cara berbagi perasaan dengan pasien, membantu pasien
untuk mengekspresikan kecemasannya, memberikan dukungan moril, dan lain-lain.
5. Evaluasi
Evaluasi
yang diharapkan dari hasil tindakan keperawatan untuk mengatasi gangguan
mobilitas adalah :
a.
Peningkatan
fungsi sistem tubuh
b.
Peningkatan
kekuatan dan ketahanan otot
c.
Peningkatan
fleksibilitas sendi
d.
Peningkatan
fungsi motorik, perasaan nyaman pada pasien, dan ekspresi pasien menunjukkan
keceriaan
Langganan:
Postingan (Atom)