Minggu, 25 Maret 2012

LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR



  1. PENDAHULUAN
-          Latar Belakang
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Hal ini dapat menimpa siapa saja dari yang muda hingga yang tua. Dampak dari fraktur bermacam – macam sesuai dengan jejas dan karakter tulang yang fraktur. Dengan fraktur diperlukan asuhan keperawatan yang komprehensif sehingga tidak menimbulkan gejala sisa yang dapat berupa kontraktur bahkan tidak berfungsinya kembali jaringan tulang atupun otot sekitar. Untuk itu diperlukan pemberian asuhan keperawatan yang baik dan profesional.
Batang Femur dapat mengalami fraktur oleh trauma langsung, puntiran (twisting), atau pukulan pada bagian depan lutut yang berada dalam posisi fleksi pada kecelakaan jalan raya. Femur merupakan tulang terbesar  dalam tubuh dan batang femur pada orang dewasa sangat kuat. Dengan demikian trauma langsung yang keras, seperti yang dapat dialami pada kecelakaan automobile. Perdarahan interna yang massif dapat menimbulkan renjatan berat.
-          Tujuan
Tujuan laporan pendahuluan asuhan keperawatan dengan fraktur adalah :
1.      Mengetahui dan memahami mengenai fraktur, meliputi definisi, etiologi dan penatalaksanaan fraktur.
2.      Mengetahui masalah keperawatan yang muncul pada kasus fraktur.
3.      Mengetahui tindakan keperawatan yang diberikan dan tujuan keperawatan.

  1. TINJAUAN TEORI
1.      Pengertian
a.           Fraktur
Adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang. Pernyataan ini sama yang diterangkan dalam buku Luckman and Sorensen’s Medical Surgical Nursing.
b.    Fraktur Femur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang pada bagian femur.
c.           Patah Tulang Tertutup
Didalam buku Kapita Selekta Kedokteran tahun 2000, diungkapkan bahwa patah tulang tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Pendapat lain menyatidakan bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih (karena kulit masih utuh atau tidak robek) tanpa komplikasi (Handerson, M. A, 1992).

2.      Etiologi
a.       Trauma        :          
Langsung (kecelakaan lalulintas)
Tidak langsung (jatuh dari ketinggian dengan posisi berdiri/duduk sehingga terjadi fraktur tulang belakang )
b.       Patologis     : Metastase dari tulang
c.       Degenerasi
d.      Spontan       : Terjadi tarikan otot yang sangat kuat.

3.      Faktor Predisposisi/Faktor Pencetus
a.           Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
b.          Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
c.           Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan. (Oswari E, 1993)

4.      Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya  (Black, J.M, et al, 1993)

a.       Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
1)          Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2)          Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.
( Ignatavicius, Donna D, 1995 )    
b.   Biologi penyembuhan tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang.


Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
1.          Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali. 
2.          Stadium Dua-Proliferasi Seluler      
Pada stadium initerjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum,dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.  
3.          Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.    
4.          Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan  osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal. 
5.          Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.
(Black, J.M, et al, 1993 dan Apley, A.Graham,1993)         

5.      Tanda dan Gejala
a.       Nyeri, terus menerus dan bertambah berat sampai fragme tulang di imobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk menimbulkan gferakan atar afragmen tulang.
b.       Setelah fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstimitas yang bisa diketahui adengan membandingkan dengan ekstrimitas normal. Ekstrimitas tak dapat berfungsi denga baik karena fungsi normal otot tergantung pada integritas tulag tempat melengketnya otot.
c.       Pada fraktur panjang terjadi pemendeka tulang karena kontraksi otot yang melekat diatas da bawah tempat fraktur.
d.      Saat diperiksa dengan tangan teraba derik tulang yang disebut krepitus akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya (uji kreptus dapat berakibat kerusakan jaringan lunak yang lebih berat)
e.       Pembegkaan dan perubahan warna lokal pada kulit karena trauma dan perdarahan  yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelahb eberapa jam atau hari.
f.        Tidak semua tanda dan gejala diatas terdapat pada setiap fraktur. Diagnosis fraktur tergantung pada gejala, tanda fisik, dan pemeriksaaan sinar X.

6.      Pemeriksaan Penunjang
a)        Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi  kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
(1)    Bayangan jaringan lunak.
(2)    Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.
(3)    Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
(4)    Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
(1)    Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
(2)    Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
(3)    Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
(4)    Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b)       Pemeriksaan Laboratorium
(1)   Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
(2)   Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
(3)   Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase  (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
c)        Pemeriksaan lain-lain
(1)     Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
(2)     Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
(3)     Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
(4)     Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.
(5)     Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
(6)     MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)

7.      Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Kedaruratan.
Bila dicurigai adanya fraktur penting untuk mengimobilisasi bagian tubuh segera sebelum pasien dipindahkan bila pasien yang mengalami cidera harus dipindahkan dari kendaraan sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstrimitas harus disangga diatas dan di bawah tempat fraktur untuk mencegah gerakan rotasi/angulasi. Gerakan frgmen patahan tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan lunak, dan perdarahan lebih lanjut. Nyeri dapt dikurangi dengan menghindari gerakan fragmnen tulang dan sendi sekitar fraktur. Pembidaian sangat penting untuk mencegah kerusakan jaringan lunak oleh fragmen tulang.
Imobilisasi tulang panjang ekstrimitas bawah juga dapat dilakkan dengan membebat kedua tungkai bersama, dengan ekstrimitas yang sehat sebagai bidai bagi ekstrimitas yang cidera.
Pada ekstrimitas atas lengan dapat dibebatkan pada dada atau lengan bawah yang cidera digantung pada sling. Pada fraktur terbuka luka ditutup dengan pembalut erdih atau steril untuk mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam, jangan sekali-kali melakukan reduksi fraktur bahkan jika ada fragmen tulang melalui luka.

Prinsip Penanganan Reduksi Fraktur
1. Reduksi fraktur, mengembalikan fragmen tulang  pada kesejajarannya dan rotasi anatomis.  Reduksi tertutup, fraksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode yang dipilih tergantung pada sifat fraktur tapi prinsip yang mendasari sama. Sebelu reduksi dan imobilisasi fraktur pasien harus dipersiapkan: ijin melakukan prosedur, analgetik sesuai ketentuan, dan persetujuan anestasi.
      Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisiya dengan manipulasi dan trksi manual.
2. Traksi , digunakan utuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi yang disesuaikan denganspsme otot yang terjadi.
3.  Reduksi terbuka, alat fiksasi internal dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya.
4. Imobilisasi Fraktur, setelah direduksi fragmen tulang harus di imobilisasi dan dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksternal (gips,pembalutan, bidai, traksi kontinyu, pin dan teknik gips atau fiksator eksternal) dan interna ( implant logam ).
5.  Mempertahankan dan mengembalikan fungsi, segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dam imoblisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neuroveskuler ( mis. Pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau dan ahli bedah ortopedi dibri tahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler. Kegelisahan , ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan. Latihan isometrik dan setting otot diusahaka untuk meminimalkan atrifi disuse dan meningkatkan peredaran darah. Pengembalian brtahap pada aktifitas swemula diusahakan sesuai dengan batasan terapeutik.
Faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur.
¨      Imoblisasi fragmen tulang
¨      Kontak fragmen tulang maksimal
¨      Asupan darah yang memadai
¨      Utrisi yangbaik
¨      Latihan pembebanan untuk tulang panjang
¨      Hormon-hormonn pertumbuhan , tiroid, kaisitonon, vitamin D, steroid dan anabolik
¨      Potensial listrik pada patahan tulang
Faktor yang menghambat penyembuhan tulang
·           Trauma lokal ekstensif
·           Kehilangan tulang
·           Imoblisasi tak memadai
·           Rongga atau ajaringan diantara fragmen tulang
·           Infeksi
·           Keganasan lokal
·           Penyakit tulang metabolik (paget)
·           Tadiasi tulang (nekrosis radiasi)
·           Nekrosis evakuler
·           Fraktur intraartikuler (cairan senovial mengandung fibrolisin, yang akan melisis bekuan darah awal dan memperlambat pertumbuhan jendalan)
·           Usia (lansia sembuh lebih lama)
·           Kartikusteroid (menghambat kecepata perbaika





8.      Pathway
Trauma            Patologis         Degeneratif     Spontan










 
Patah Tulang


 
Terputusnya kontinuitas tulang           DP : Nyeri akut


 
         Terbuka                                                                                      Tertutup












 
  Infeksi       DP : Kerusakan integritas jaringan       Potensial infeksi,adanya emboli lemak dari  fraktur tulang panjang & sindroma kompatemen .           


 
                                  Trauma Penetrasi                             DP : Risiko Infeksi


 
Perdarahan              Cidera Vaskuler                         Trombosis Pembuluh








 
PK: Perdarahan              Komplikasi






 
Penyebab kematian dini                                      Penyebab lambat kematian(Stl 3 hr)










 


Hemoragi & Cidera Kepala           Gangguan Organ Multipel       Sepsis






 


Terjadi ARDS &  DIC                                                              Pelepasan Toksin


 


Syok Hipovolemik       PK: Syok Hipovolemik                       Dilatasi pemb. Darah






 


Penurunan Perfusi  organ                                                       Terkumpulnya Venosa

                                                     Peningkatan Curah jantung        Penurunan tahanan
                                                                                                         Vaskular sistemik


                                                        Penurunan Curah Jantung,Tensi, Perfusi


 
                                      
                                                                           Syok Sepsis


 




   ( Tirah baring, Ulkus, Emboli pulmunal, penyusutan Otot )         DP : Defisit self care






 
DP : Kerusakan mobilitas fisik           PK : Kontraktur

9.      Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
Pengumpulan Data
1)          Anamnesa
a)       Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b)        Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
(1)      Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
(2)         Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
(3)         Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4)        Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan  skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5)        Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
c)       Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain.


d)      Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang (Ignatavicius, Donna D, 1995).
e)       Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).
f)        Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).
g)       Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1)   Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).
(2)   Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
(3)   Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
(4)   Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
(5)   Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain.
(6)   Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap.
(7)   Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image).
(8)   Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur.
(9)   Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya.
10)   Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
11)   Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
2)         Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a)       Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
(1)   Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
(a)    Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.
(b)   Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(c)    Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
(2)   Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(a)    Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
(b)   Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(c)    Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.

(d)   Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
(e)    Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan)
(f)    Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
(g)   Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(h)   Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
(i)     Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
(j)     Paru
(1)   Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
(2)   Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(3)   Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(4)   Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(k)   Jantung
(1)   Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(2)   Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3)   Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(l)     Abdomen
(1)   Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2)   Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(3)   Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4)   Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
(m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
b)       Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
(1)   Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(a)    Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).
(b)   Cape au lait spot (birth mark).
(c)    Fistulae.
(d)   Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(e)    Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
(f)    Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(g)   Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
(2)   Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(a)    Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
(b)   Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian.
(c)    Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau  permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
(3)   Move (pergeraka terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.

10.  Diagnosa Keperawatan
a.           Nyeri akut
b.          Kerusakan integritas jaringan
c.           Kerusakan mobilitas fisik
d.          Deficit self care
e.           Resiko infeksi

0 komentar:

Posting Komentar

Minggu, 25 Maret 2012

LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR

Diposting oleh Unknown di 01.15


  1. PENDAHULUAN
-          Latar Belakang
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Hal ini dapat menimpa siapa saja dari yang muda hingga yang tua. Dampak dari fraktur bermacam – macam sesuai dengan jejas dan karakter tulang yang fraktur. Dengan fraktur diperlukan asuhan keperawatan yang komprehensif sehingga tidak menimbulkan gejala sisa yang dapat berupa kontraktur bahkan tidak berfungsinya kembali jaringan tulang atupun otot sekitar. Untuk itu diperlukan pemberian asuhan keperawatan yang baik dan profesional.
Batang Femur dapat mengalami fraktur oleh trauma langsung, puntiran (twisting), atau pukulan pada bagian depan lutut yang berada dalam posisi fleksi pada kecelakaan jalan raya. Femur merupakan tulang terbesar  dalam tubuh dan batang femur pada orang dewasa sangat kuat. Dengan demikian trauma langsung yang keras, seperti yang dapat dialami pada kecelakaan automobile. Perdarahan interna yang massif dapat menimbulkan renjatan berat.
-          Tujuan
Tujuan laporan pendahuluan asuhan keperawatan dengan fraktur adalah :
1.      Mengetahui dan memahami mengenai fraktur, meliputi definisi, etiologi dan penatalaksanaan fraktur.
2.      Mengetahui masalah keperawatan yang muncul pada kasus fraktur.
3.      Mengetahui tindakan keperawatan yang diberikan dan tujuan keperawatan.

  1. TINJAUAN TEORI
1.      Pengertian
a.           Fraktur
Adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang. Pernyataan ini sama yang diterangkan dalam buku Luckman and Sorensen’s Medical Surgical Nursing.
b.    Fraktur Femur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang pada bagian femur.
c.           Patah Tulang Tertutup
Didalam buku Kapita Selekta Kedokteran tahun 2000, diungkapkan bahwa patah tulang tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Pendapat lain menyatidakan bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih (karena kulit masih utuh atau tidak robek) tanpa komplikasi (Handerson, M. A, 1992).

2.      Etiologi
a.       Trauma        :          
Langsung (kecelakaan lalulintas)
Tidak langsung (jatuh dari ketinggian dengan posisi berdiri/duduk sehingga terjadi fraktur tulang belakang )
b.       Patologis     : Metastase dari tulang
c.       Degenerasi
d.      Spontan       : Terjadi tarikan otot yang sangat kuat.

3.      Faktor Predisposisi/Faktor Pencetus
a.           Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
b.          Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
c.           Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan. (Oswari E, 1993)

4.      Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya  (Black, J.M, et al, 1993)

a.       Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
1)          Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2)          Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.
( Ignatavicius, Donna D, 1995 )    
b.   Biologi penyembuhan tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang.


Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
1.          Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali. 
2.          Stadium Dua-Proliferasi Seluler      
Pada stadium initerjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum,dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.  
3.          Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.    
4.          Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan  osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal. 
5.          Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.
(Black, J.M, et al, 1993 dan Apley, A.Graham,1993)         

5.      Tanda dan Gejala
a.       Nyeri, terus menerus dan bertambah berat sampai fragme tulang di imobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk menimbulkan gferakan atar afragmen tulang.
b.       Setelah fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstimitas yang bisa diketahui adengan membandingkan dengan ekstrimitas normal. Ekstrimitas tak dapat berfungsi denga baik karena fungsi normal otot tergantung pada integritas tulag tempat melengketnya otot.
c.       Pada fraktur panjang terjadi pemendeka tulang karena kontraksi otot yang melekat diatas da bawah tempat fraktur.
d.      Saat diperiksa dengan tangan teraba derik tulang yang disebut krepitus akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya (uji kreptus dapat berakibat kerusakan jaringan lunak yang lebih berat)
e.       Pembegkaan dan perubahan warna lokal pada kulit karena trauma dan perdarahan  yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelahb eberapa jam atau hari.
f.        Tidak semua tanda dan gejala diatas terdapat pada setiap fraktur. Diagnosis fraktur tergantung pada gejala, tanda fisik, dan pemeriksaaan sinar X.

6.      Pemeriksaan Penunjang
a)        Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi  kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
(1)    Bayangan jaringan lunak.
(2)    Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.
(3)    Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
(4)    Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
(1)    Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
(2)    Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
(3)    Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
(4)    Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b)       Pemeriksaan Laboratorium
(1)   Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
(2)   Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
(3)   Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase  (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
c)        Pemeriksaan lain-lain
(1)     Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
(2)     Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
(3)     Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
(4)     Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.
(5)     Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
(6)     MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)

7.      Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Kedaruratan.
Bila dicurigai adanya fraktur penting untuk mengimobilisasi bagian tubuh segera sebelum pasien dipindahkan bila pasien yang mengalami cidera harus dipindahkan dari kendaraan sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstrimitas harus disangga diatas dan di bawah tempat fraktur untuk mencegah gerakan rotasi/angulasi. Gerakan frgmen patahan tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan lunak, dan perdarahan lebih lanjut. Nyeri dapt dikurangi dengan menghindari gerakan fragmnen tulang dan sendi sekitar fraktur. Pembidaian sangat penting untuk mencegah kerusakan jaringan lunak oleh fragmen tulang.
Imobilisasi tulang panjang ekstrimitas bawah juga dapat dilakkan dengan membebat kedua tungkai bersama, dengan ekstrimitas yang sehat sebagai bidai bagi ekstrimitas yang cidera.
Pada ekstrimitas atas lengan dapat dibebatkan pada dada atau lengan bawah yang cidera digantung pada sling. Pada fraktur terbuka luka ditutup dengan pembalut erdih atau steril untuk mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam, jangan sekali-kali melakukan reduksi fraktur bahkan jika ada fragmen tulang melalui luka.

Prinsip Penanganan Reduksi Fraktur
1. Reduksi fraktur, mengembalikan fragmen tulang  pada kesejajarannya dan rotasi anatomis.  Reduksi tertutup, fraksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode yang dipilih tergantung pada sifat fraktur tapi prinsip yang mendasari sama. Sebelu reduksi dan imobilisasi fraktur pasien harus dipersiapkan: ijin melakukan prosedur, analgetik sesuai ketentuan, dan persetujuan anestasi.
      Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisiya dengan manipulasi dan trksi manual.
2. Traksi , digunakan utuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi yang disesuaikan denganspsme otot yang terjadi.
3.  Reduksi terbuka, alat fiksasi internal dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya.
4. Imobilisasi Fraktur, setelah direduksi fragmen tulang harus di imobilisasi dan dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksternal (gips,pembalutan, bidai, traksi kontinyu, pin dan teknik gips atau fiksator eksternal) dan interna ( implant logam ).
5.  Mempertahankan dan mengembalikan fungsi, segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dam imoblisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neuroveskuler ( mis. Pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau dan ahli bedah ortopedi dibri tahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler. Kegelisahan , ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan. Latihan isometrik dan setting otot diusahaka untuk meminimalkan atrifi disuse dan meningkatkan peredaran darah. Pengembalian brtahap pada aktifitas swemula diusahakan sesuai dengan batasan terapeutik.
Faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur.
¨      Imoblisasi fragmen tulang
¨      Kontak fragmen tulang maksimal
¨      Asupan darah yang memadai
¨      Utrisi yangbaik
¨      Latihan pembebanan untuk tulang panjang
¨      Hormon-hormonn pertumbuhan , tiroid, kaisitonon, vitamin D, steroid dan anabolik
¨      Potensial listrik pada patahan tulang
Faktor yang menghambat penyembuhan tulang
·           Trauma lokal ekstensif
·           Kehilangan tulang
·           Imoblisasi tak memadai
·           Rongga atau ajaringan diantara fragmen tulang
·           Infeksi
·           Keganasan lokal
·           Penyakit tulang metabolik (paget)
·           Tadiasi tulang (nekrosis radiasi)
·           Nekrosis evakuler
·           Fraktur intraartikuler (cairan senovial mengandung fibrolisin, yang akan melisis bekuan darah awal dan memperlambat pertumbuhan jendalan)
·           Usia (lansia sembuh lebih lama)
·           Kartikusteroid (menghambat kecepata perbaika





8.      Pathway
Trauma            Patologis         Degeneratif     Spontan










 
Patah Tulang


 
Terputusnya kontinuitas tulang           DP : Nyeri akut


 
         Terbuka                                                                                      Tertutup












 
  Infeksi       DP : Kerusakan integritas jaringan       Potensial infeksi,adanya emboli lemak dari  fraktur tulang panjang & sindroma kompatemen .           


 
                                  Trauma Penetrasi                             DP : Risiko Infeksi


 
Perdarahan              Cidera Vaskuler                         Trombosis Pembuluh








 
PK: Perdarahan              Komplikasi






 
Penyebab kematian dini                                      Penyebab lambat kematian(Stl 3 hr)










 


Hemoragi & Cidera Kepala           Gangguan Organ Multipel       Sepsis






 


Terjadi ARDS &  DIC                                                              Pelepasan Toksin


 


Syok Hipovolemik       PK: Syok Hipovolemik                       Dilatasi pemb. Darah






 


Penurunan Perfusi  organ                                                       Terkumpulnya Venosa

                                                     Peningkatan Curah jantung        Penurunan tahanan
                                                                                                         Vaskular sistemik


                                                        Penurunan Curah Jantung,Tensi, Perfusi


 
                                      
                                                                           Syok Sepsis


 




   ( Tirah baring, Ulkus, Emboli pulmunal, penyusutan Otot )         DP : Defisit self care






 
DP : Kerusakan mobilitas fisik           PK : Kontraktur

9.      Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
Pengumpulan Data
1)          Anamnesa
a)       Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b)        Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
(1)      Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
(2)         Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
(3)         Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4)        Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan  skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5)        Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
c)       Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain.


d)      Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang (Ignatavicius, Donna D, 1995).
e)       Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).
f)        Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).
g)       Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1)   Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).
(2)   Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
(3)   Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
(4)   Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
(5)   Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain.
(6)   Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap.
(7)   Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image).
(8)   Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur.
(9)   Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya.
10)   Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
11)   Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
2)         Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a)       Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
(1)   Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
(a)    Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.
(b)   Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(c)    Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
(2)   Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(a)    Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
(b)   Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(c)    Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.

(d)   Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
(e)    Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan)
(f)    Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
(g)   Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(h)   Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
(i)     Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
(j)     Paru
(1)   Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
(2)   Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(3)   Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(4)   Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(k)   Jantung
(1)   Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(2)   Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3)   Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(l)     Abdomen
(1)   Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2)   Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(3)   Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4)   Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
(m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
b)       Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
(1)   Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(a)    Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).
(b)   Cape au lait spot (birth mark).
(c)    Fistulae.
(d)   Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(e)    Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
(f)    Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(g)   Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
(2)   Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(a)    Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
(b)   Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian.
(c)    Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau  permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
(3)   Move (pergeraka terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.

10.  Diagnosa Keperawatan
a.           Nyeri akut
b.          Kerusakan integritas jaringan
c.           Kerusakan mobilitas fisik
d.          Deficit self care
e.           Resiko infeksi

0 komentar on "LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR"

Posting Komentar