- PENDAHULUAN
-
Latar Belakang
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa. Hal ini dapat menimpa siapa saja dari yang muda
hingga yang tua. Dampak dari fraktur bermacam – macam sesuai dengan jejas dan
karakter tulang yang fraktur. Dengan fraktur diperlukan asuhan keperawatan yang
komprehensif sehingga tidak menimbulkan gejala sisa yang dapat berupa
kontraktur bahkan tidak berfungsinya kembali jaringan tulang atupun otot sekitar.
Untuk itu diperlukan pemberian asuhan keperawatan yang baik dan profesional.
Batang Femur dapat mengalami fraktur oleh trauma langsung, puntiran
(twisting), atau pukulan pada bagian depan lutut yang berada dalam posisi
fleksi pada kecelakaan jalan raya. Femur merupakan tulang terbesar dalam tubuh dan batang femur pada orang
dewasa sangat kuat. Dengan demikian trauma langsung yang keras, seperti yang
dapat dialami pada kecelakaan automobile. Perdarahan interna yang massif dapat
menimbulkan renjatan berat.
-
Tujuan
Tujuan laporan pendahuluan asuhan keperawatan dengan fraktur adalah
:
1.
Mengetahui dan memahami
mengenai fraktur, meliputi definisi, etiologi dan penatalaksanaan fraktur.
2.
Mengetahui masalah keperawatan
yang muncul pada kasus fraktur.
3.
Mengetahui tindakan keperawatan
yang diberikan dan tujuan keperawatan.
- TINJAUAN TEORI
1.
Pengertian
a.
Fraktur
Adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang
umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Sedangkan
menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation
menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan
tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang.
Pernyataan ini sama yang diterangkan dalam buku Luckman and Sorensen’s Medical
Surgical Nursing.
b. Fraktur Femur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang pada
bagian femur.
c.
Patah Tulang Tertutup
Didalam buku Kapita Selekta Kedokteran tahun 2000,
diungkapkan bahwa patah tulang tertutup adalah patah tulang dimana tidak
terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Pendapat lain
menyatidakan bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih
(karena kulit masih utuh atau tidak robek) tanpa komplikasi (Handerson, M. A,
1992).
2.
Etiologi
a.
Trauma :
Langsung (kecelakaan lalulintas)
Tidak langsung (jatuh dari
ketinggian dengan posisi berdiri/duduk sehingga terjadi fraktur tulang belakang
)
b.
Patologis : Metastase dari tulang
c.
Degenerasi
d.
Spontan : Terjadi tarikan otot yang sangat kuat.
3.
Faktor Predisposisi/Faktor
Pencetus
a.
Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik
terjadinya kekerasan. Fraktur
demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang
atau miring.
b.
Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang
ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah
bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
c.
Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan
otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan,
penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan. (Oswari E, 1993)
4.
Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup
mempunyai kekeuatan dan gaya
pegas untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan
eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka
terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur, periosteum
dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang
membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan
terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera
berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini
menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi,
eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah
yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Black, J.M, et al, 1993)
a.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
fraktur
1)
Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang
tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan
fraktur.
2)
Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang
menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari
tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.
( Ignatavicius, Donna D, 1995 )
b. Biologi penyembuhan tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain.
Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan
membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh
aktivitas sel-sel tulang.
Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
1.
Stadium Satu-Pembentukan
Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar
daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang
rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini
berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali.
2.
Stadium Dua-Proliferasi
Seluler
Pada stadium initerjadi proliferasi dan differensiasi
sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum,dan bone marrow
yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk
ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan
terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang
menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8
jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.
3.
Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang
kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan
mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh
kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel
tulang yang mati. Massa
sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau
bebat pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur
(anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur
berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.
4.
Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan
osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini
sekarang cukup kaku dan memungkinkan
osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat
dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen
dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu
beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5.
Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang
yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk
ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae
yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding
yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk
struktur yang mirip dengan normalnya.
(Black, J.M, et al, 1993 dan Apley,
A.Graham,1993)
5.
Tanda dan Gejala
a.
Nyeri, terus
menerus dan bertambah berat sampai fragme tulang di imobilisasi. Spasme otot
yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk
menimbulkan gferakan atar afragmen tulang.
b.
Setelah
fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara
alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau
tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstimitas yang
bisa diketahui adengan membandingkan dengan ekstrimitas normal. Ekstrimitas tak
dapat berfungsi denga baik karena fungsi normal otot tergantung pada integritas
tulag tempat melengketnya otot.
c.
Pada fraktur
panjang terjadi pemendeka tulang karena kontraksi otot yang melekat diatas da
bawah tempat fraktur.
d.
Saat
diperiksa dengan tangan teraba derik tulang yang disebut krepitus akibat
gesekan antara fragmen satu dengan lainnya (uji kreptus dapat berakibat
kerusakan jaringan lunak yang lebih berat)
e.
Pembegkaan
dan perubahan warna lokal pada kulit karena trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru
terjadi setelahb eberapa jam atau hari.
f.
Tidak semua
tanda dan gejala diatas terdapat pada setiap fraktur. Diagnosis fraktur
tergantung pada gejala, tanda fisik, dan pemeriksaaan sinar X.
6.
Pemeriksaan Penunjang
a)
Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah
“pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3
dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi
yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi
tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari
karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas
dasar indikasi kegunaan pemeriksaan
penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca
pada x-ray:
(1)
Bayangan jaringan lunak.
(2)
Tipis tebalnya korteks sebagai
akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.
(3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
(4) Sela sendi serta bentuknya
arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane
x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
(1)
Tomografi: menggambarkan tidak
satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi.
Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada
satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
(2)
Myelografi: menggambarkan
cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang
mengalami kerusakan akibat trauma.
(3) Arthrografi: menggambarkan
jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
(4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan
potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang
yang rusak.
b)
Pemeriksaan Laboratorium
(1)
Kalsium Serum dan Fosfor Serum
meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
(2)
Alkalin Fosfat meningkat pada
kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
(3)
Enzim otot seperti Kreatinin
Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
c)
Pemeriksaan lain-lain
(1)
Pemeriksaan mikroorganisme
kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
(2)
Biopsi tulang dan otot: pada
intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan
bila terjadi infeksi.
(3)
Elektromyografi: terdapat
kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
(4)
Arthroscopy: didapatkan
jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.
(5)
Indium Imaging: pada
pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
(6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat
fraktur.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)
7.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Kedaruratan.
Bila dicurigai adanya fraktur penting
untuk mengimobilisasi bagian tubuh segera sebelum pasien dipindahkan bila
pasien yang mengalami cidera harus dipindahkan dari kendaraan sebelum dapat
dilakukan pembidaian, ekstrimitas harus disangga diatas dan di bawah tempat
fraktur untuk mencegah gerakan rotasi/angulasi. Gerakan frgmen patahan tulang
dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan lunak, dan perdarahan lebih lanjut.
Nyeri dapt dikurangi dengan menghindari gerakan fragmnen tulang dan sendi
sekitar fraktur. Pembidaian sangat penting untuk mencegah kerusakan jaringan
lunak oleh fragmen tulang.
Imobilisasi tulang panjang ekstrimitas
bawah juga dapat dilakkan dengan membebat kedua tungkai bersama, dengan
ekstrimitas yang sehat sebagai bidai bagi ekstrimitas yang cidera.
Pada ekstrimitas atas lengan dapat
dibebatkan pada dada atau lengan bawah yang cidera digantung pada sling. Pada
fraktur terbuka luka ditutup dengan pembalut erdih atau steril untuk mencegah
kontaminasi jaringan yang lebih dalam, jangan sekali-kali melakukan reduksi
fraktur bahkan jika ada fragmen tulang melalui luka.
Prinsip Penanganan Reduksi Fraktur
1. Reduksi fraktur, mengembalikan fragmen
tulang pada kesejajarannya dan rotasi
anatomis. Reduksi tertutup, fraksi, atau
reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode yang dipilih
tergantung pada sifat fraktur tapi prinsip yang mendasari sama. Sebelu reduksi
dan imobilisasi fraktur pasien harus dipersiapkan: ijin melakukan prosedur,
analgetik sesuai ketentuan, dan persetujuan anestasi.
Reduksi
tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisiya dengan
manipulasi dan trksi manual.
2. Traksi , digunakan utuk mendapatkan efek
reduksi dan imobilisasi yang disesuaikan denganspsme otot yang terjadi.
3. Reduksi
terbuka, alat fiksasi internal dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku,
atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam
posisinya.
4. Imobilisasi Fraktur, setelah direduksi fragmen
tulang harus di imobilisasi dan dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang
benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi
eksternal (gips,pembalutan, bidai, traksi kontinyu, pin dan teknik gips atau
fiksator eksternal) dan interna ( implant logam ).
5.
Mempertahankan dan mengembalikan fungsi, segala upaya diarahkan pada
penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dam imoblisasi harus
dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neuroveskuler ( mis. Pengkajian peredaran
darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau dan ahli bedah ortopedi dibri tahu
segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler. Kegelisahan , ansietas dan
ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan. Latihan isometrik dan setting
otot diusahaka untuk meminimalkan atrifi disuse dan meningkatkan peredaran
darah. Pengembalian brtahap pada aktifitas swemula diusahakan sesuai dengan
batasan terapeutik.
Faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur.
¨ Imoblisasi fragmen tulang
¨ Kontak fragmen tulang maksimal
¨ Asupan darah yang memadai
¨ Utrisi yangbaik
¨ Latihan pembebanan untuk tulang panjang
¨ Hormon-hormonn pertumbuhan , tiroid, kaisitonon,
vitamin D, steroid dan anabolik
¨ Potensial listrik pada patahan tulang
Faktor
yang menghambat penyembuhan tulang
·
Trauma lokal
ekstensif
·
Kehilangan
tulang
·
Imoblisasi
tak memadai
·
Rongga atau
ajaringan diantara fragmen tulang
·
Infeksi
·
Keganasan
lokal
·
Penyakit
tulang metabolik (paget)
·
Tadiasi
tulang (nekrosis radiasi)
·
Nekrosis
evakuler
·
Fraktur
intraartikuler (cairan senovial mengandung fibrolisin, yang akan melisis bekuan
darah awal dan memperlambat pertumbuhan jendalan)
·
Usia (lansia
sembuh lebih lama)
·
Kartikusteroid
(menghambat kecepata perbaika
8.
Pathway
Trauma Patologis Degeneratif Spontan
Patah
Tulang
Terputusnya
kontinuitas tulang DP : Nyeri
akut
Terbuka
Tertutup
Infeksi
DP : Kerusakan integritas
jaringan Potensial infeksi,adanya
emboli lemak dari fraktur tulang panjang
& sindroma kompatemen .
Trauma Penetrasi DP
: Risiko Infeksi
Perdarahan Cidera Vaskuler Trombosis Pembuluh
PK: Perdarahan
Komplikasi
Penyebab kematian dini Penyebab
lambat kematian(Stl 3 hr)
Hemoragi & Cidera Kepala Gangguan Organ Multipel Sepsis
Terjadi ARDS & DIC
Pelepasan Toksin
Syok Hipovolemik PK: Syok Hipovolemik Dilatasi pemb. Darah
Penurunan Perfusi organ
Terkumpulnya Venosa
Peningkatan Curah jantung Penurunan tahanan
Vaskular sistemik
Penurunan Curah Jantung,Tensi, Perfusi
Syok Sepsis
( Tirah baring, Ulkus, Emboli
pulmunal, penyusutan Otot ) DP : Defisit self care
DP : Kerusakan
mobilitas fisik PK : Kontraktur
9.
Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam
proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang
masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan.
Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini
terbagi atas:
Pengumpulan Data
1)
Anamnesa
a)
Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur,
alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan,
asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b)
Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan
utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung
dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa
nyeri klien digunakan:
(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa
yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
(2)
Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang
dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti
terbakar, berdenyut, atau menusuk.
(3)
Region : radiation, relief: apakah rasa sakit
bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit
terjadi.
(4)
Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa
nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan
skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
(5)
Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan,
apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
c)
Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk
menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana
tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut
sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana
yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan
bisa diketahui luka kecelakaan yang lain.
d)
Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan
kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut
akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit
paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung.
Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya
osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang (Ignatavicius, Donna D, 1995).
e)
Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan
dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa
keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
f)
Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien
terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik
dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).
g)
Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1)
Pola
Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus
fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan
harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya.
Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan
obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol
yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau
tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).
(2)
Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi
nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein,
vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap
pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal
dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium
atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor
predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien.
(3)
Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur tidak ada
gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada
pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada
kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
(4)
Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa
nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan
tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur,
suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat
tidur.
(5)
Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan
gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien
perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan
klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur
dibanding pekerjaan yang lain.
(6)
Pola Hubungan dan Peran
Klien akan
kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena
klien harus menjalani rawat inap.
(7)
Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur
yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap
dirinya yang salah (gangguan body image).
(8)
Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya
berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain
tidak timbul gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan.
Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur.
(9)
Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu,
klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap
dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga,
perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya.
10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas
tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan
fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat
melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan
konsentrasi. Hal ini bisa
disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
2)
Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan
umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan
setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena
ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih
sempit tetapi lebih mendalam.
a)
Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
(1)
Keadaan umum: baik atau
buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
(a)
Kesadaran penderita: apatis,
sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.
(b)
Kesakitan, keadaan penyakit:
akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(c)
Tanda-tanda
vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
(2)
Secara
sistemik dari kepala sampai kelamin
(a)
Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah
trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
(b)
Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris,
tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(c)
Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan,
reflek menelan ada.
(d)
Muka
Wajah terlihat menahan sakit,
lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak
ada lesi, simetris, tak oedema.
(e)
Mata
Tidak ada gangguan seperti
konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan)
(f)
Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak
ada lesi atau nyeri tekan.
(g)
Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada
pernafasan cuping hidung.
(h)
Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
(i)
Thoraks
Tak ada pergerakan otot
intercostae, gerakan dada simetris.
(j)
Paru
(1)
Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau
tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
(2)
Palpasi
Pergerakan
sama atau simetris, fermitus raba sama.
(3)
Perkusi
Suara ketok
sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(4)
Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada
wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(k)
Jantung
(1)
Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(2)
Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3)
Auskultasi
Suara S1 dan
S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(l)
Abdomen
(1)
Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak
ada hernia.
(2)
Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands
muskuler, hepar tidak teraba.
(3)
Perkusi
Suara thympani, ada pantulan
gelombang cairan.
(4)
Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
(m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran
lymphe, tak ada kesulitan BAB.
b)
Keadaan Lokal
Harus
diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status
neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal
adalah:
(1)
Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(a) Cictriks (jaringan parut baik yang alami
maupun buatan seperti bekas operasi).
(b)
Cape au lait spot (birth mark).
(c)
Fistulae.
(d)
Warna kemerahan atau kebiruan
(livide) atau hyperpigmentasi.
(e)
Benjolan, pembengkakan, atau
cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
(f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas
(deformitas)
(g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar
periksa)
(2)
Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi
penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya
ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa
maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat)
dan kelembaban kulit.
(b)
Apabila
ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar
persendian.
(c) Nyeri tekan (tenderness),
krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang
terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa
status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu
dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar
atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan
ukurannya.
(3)
Move
(pergeraka terutama lingkup gerak)
Setelah
melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas
dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup
gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya.
Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai
dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini
menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
10.
Diagnosa Keperawatan
a.
Nyeri akut
b.
Kerusakan
integritas jaringan
c.
Kerusakan
mobilitas fisik
d.
Deficit self
care
e.
Resiko
infeksi